Daán yahya

Oleh: Hasanul Rizqa

Dari sinilah, dakwah Islam pada masa Rasulullah SAW kian berkembang pesat.

Pada 622 M, peristiwa besar terjadi di Yastrib. Ketika itu, penduduk setempat menyambut kedatangan Nabi Muhammad SAW dan kaum Muslimin yang berpindah dari Makkah al-Mukarramah. Sejak saat itu, nama daerah tersebut diganti oleh Rasulullah SAW menjadi Madinah al-Munawwarah. Beliau juga memohon kepada Allah agar ketenteraman dan keberkahan selalu tercurah atas kota ini.

 

Penduduk Madinah terkenal ramah, berperangai halus, dan berakhlak mulia. Sejak hadirnya Rasul SAW di kota itu, hubungan sosial masyarakat setempat terjalin dengan amat baik. Corak kehidupan mereka jauh dari nuansa keras, berbeda halnya dengan model kehidupan suku-suku Arab di sekitarnya ketika itu.

 

Bukan tanpa alasan Nabi SAW memilih nama Madinah al-Munawwarah. Seorang cendekiawan Muslim Dr Nurcholish Madjid (Cak Nur) pernah menelaah topik perubahan nomenklatur ini dalam sebuah artikelnya.

 

Menurut Cak Nur, kebijakan Nabi SAW yang mengubah nama kota itu memiliki pemaknaan yang luas dan mendalam. Dengan nama baru itu, beliau hendak meneguhkan perubahan pola kehidupan masyarakat Muslim dan penduduk Jazirah Arab pada umumnya.

 

Secara kebahasaan, kata madinah berarti 'kota.' Akarnya sama dengan din yang berarti 'agama.' Kedua kata itu berasal dari tiga huruf yang digabungkan, yaitu "d-y-n" (dal-ya'-nun), yang bermakna dasar 'patuh.'

 

Dengan demikian, lanjut Cak Nur, baik madinah maupun din mengajarkan sikap tunduk-patuh kepada Sang Maha Pencipta. 'Kepatuhan penuh pasrah' kepada Allah, itulah yang dalam bahasa Arab disebut sebagai Islam. Maknanya adalah 'damai' dan sekaligus 'keselamatan.'

 

Perkataan madinah yang digunakan Nabi SAW untuk mengganti nama Yatsrib menyiratkan semacam deklarasi. Di tempat baru itu, beliau hendak diwujudkan suatu masyarakat yang tunduk dan patuh kepada Allah SWT. Secara sosial dan politik, komunitas itu divisikan teratur atau berperaturan, sebagaimana mestinya sebuah tatanan yang ideal.

 

"Maka, madinah adalah pola kehidupan sosial yang sopan, yang ditegakkan atas dasar kewajiban dan kesadaran umum untuk patuh kepada peraturan atau hukum. Sistem yang dibangun merujuk kepada pola kehidupan teratur dalam lingkungan masyarakat yang disebut kota,'' tulis pendiri Universitas Paramadina itu.

 

Secara geografis, Kota Madinah terletak antara 39-40 derajat garis Bujur Timur dan 24-25 garis Lintang Utara. Letaknya di dataran tinggi Nejd dan daerah pantai Tihamah, setinggi 660 meter di atas permukaan air laut. Jaraknya dari Kota Makkah sekitar 450 km, dari Riyadh kira-kira 1.000 km, dan dari Laut Merah kurang lebih 275 km. Saat ini, luas Kota Madinah mencapai 1.500 km persegi dengan jumlah penduduk mencapai satu juta jiwa.

 

Kota Madinah dikenal sebagai salah satu lahan tersubur di jazirah Arabia. Hal ini disebabkan kondisi alamnya yang berbukit. Barisan bukit yang mengelilingi kota ini bagaikan piring terbuka. Karena itu, lembah Madinah menjadi tempat pertemuan aliran air yang berasal dari selatan dan timur. Di sebelah selatan, kota ini berbatasan dengan Bukit Air; di sebelah utara dengan Bukit Uhud dan Sur; dan di sebelah timur dan barat dengan gurun pasir Harah.

 

Maka itu, tak mengherankan bila kota ini mampu menyediakan sejumlah hasil pertanian dan perkebunan bagi warganya. Di antaranya, sayuran dan buah-buahan dalam jumlah besar, seperti kurma, jeruk, pisang, delima, persik, anggur, dan ara. Sebagian besar penduduknya pada zaman dahulu hidup dengan bercocok tanam, dan sebagian yang lain berdagang dan beternak.

DOK REPUBLIKA

Karakteristik

Allah mengaruniai masyarakat Madinah dengan pelbagai keistimewaan. Di antara seluruh penduduk Jazirah Arab, mereka menonjol karena karakteristiknya yang ramah. Sifat itu sangat selaras dengan nuansa dakwah Nabi Muhammad SAW yang memudahkan, alih-alih mempersulit; menggembirakan, bukan memaksa; serta mencerahkan, bukan pesimistis.

 

Hati penduduk Madinah dibuka oleh Allah SWT untuk segera memeluk risalah Rasulullah SAW. Mengapa keadaannya berbeda dengan kebanyakan warga Makkah, padahal di sanalah beliau lahir dan berasal?

 

Muhammad Musthofa Mujahid punya penjelasan tentang hal ini. Dalam bukunya, Abqariatu ar-Rasul fi Iktisab al-'Uqul (Rasulullah Sang Jenius), ia mengungkapkan bahwa faktor utama pembentuk karakter penduduk Madinah adalah pekerjaan mereka, yaitu bertani.

 

Masyarakat petani terbiasa hidup dalam suasana gotong royong, baik pada level keluarga ataupun masyarakat. Kegiatan pertanian menuntut mereka untuk piawai bekerja sama antarindividu, terutama pada saat musim tanam dan tuai.

 

Pada masa penantian panen pun, lanjut Mujahid, mereka mempunyai aktivitas lain yang juga diwarnai semangat tolong-menolong. Umpamanya, menjaga tanaman, memerah susu, atau bersosialisasi dengan sesama.

 

Kondisi seperti itu membentuk watak masyarakat Madinah yang terbuka, baik untuk berdialog ataupun bersinergi. Keadaan sebaliknya terjadi pada masyarakat Makkah yang umumnya berprofesi sebagai pedagang.

 

Cara berpikir kaum saudagar cenderung kalkulatif dan transaksional. Berpedoman pada hukum untung dan rugi, mereka condong sukar untuk diajak berdialog. Orang sehebat Umar bin Khathab saja terheran dengan keluwesan penduduk Madinah, misalnya dalam menerima dengan tangan terbuka orang-orang Muhajirin. Namun, ia segera menyadari bahwa watak mereka memang terbentuk karena kebiasaan turun-temurun dan pola kerja keseharian yang digeluti.

Kondisi seperti itu membentuk watak masyarakat Madinah yang terbuka, baik untuk berdialog ataupun bersinergi.

Masjid Sebagai Pusat

Adanya kondisi alam yang subur, sikap masyarakat yang ramah, dan sebagian warganya yang sudah lebih dahulu mengenal ajaran Islam. Itulah beberapa faktor yang menstimulus Rasulullah SAW untuk menjadikan Madinah sentra dakwah.

 

Untuk membangun tatanan Islami di tengah masyarakat, Nabi SAW mendirikan sebuah masjid. Dengan dukungan seluruh sahabatnya, terwujudlah Masjid Nabawi. Di sini, beliau memulai mengajarkan Islam kepada siapapun yang hatinya terpanggil pada kebenaran.

 

Masjid Nabawi pun menjadi tempat Rasul SAW mengajarkan berbagai ilmu kepada Muslimin. Mulai dari pokok-pokok ibadah, muamalah (interaksi dengan masyarakat), politik, pemerintahan, pengadilan, pembinaan akhlak, hingga masalah perang. Pembahasan akan hal-hal itu lebih banyak disampaikan beliau dari masjid.

 

Karena itu, selain dipergunakan untuk shalat lima waktu, masjid juga dimanfaatkan Rasulullah SAW untuk mendidik akidah dan akhlak umat Islam agar menjadi lebih baik dan kuat. Rasul menanamkan etika dan moral umat dalam pergaulan keseharian, sebagaimana diajarkan Alquran. Sehingga, nilai-nilai Alquran senantiasa tertanam dalam sanubari dan lubuk hati segenap umat Islam.

 

Ibaratnya, Masjid Nabawi sebagai kawah candradimuka dalam pembentukan karakter dan pembinaan akhlak umat. Dengan akidah yang kuat, akhlak yang baik, dan sikap yang santun dari umat Islam maka menyebar dan memancarlah sinar dan cahaya Islam ke seluruh penjuru dunia. Tak heran bila Madinah dijuluki dengan Al-Munawarah, yang penuh cahaya atau bersinar.

 

Tanah Suci

Madinah al-Munawwarah menjadi kota utama kedua setelah Makkah al-Mukarramah dalam perspektif Islam. Rasulullah SAW menjadikannya sebagai salah satu Tanah Suci (al-Haram).

 

''Sesungguhnya Nabi Ibrahim telah menjadikan Makkah sebagai tanah haram, aku pun menjadikan Madinah sebagai tanah haram'' (HR Muslim).

 

Tak hanya itu, Nabi SAW juga menegaskan, Masjid Nabawi adalah salah satu tempat yang mulia. ''Janganlah kau mementingkan bepergian kecuali kepada tiga masjid, yaitu Masjid al-Haram (Makkah), Masjidku (Nabawi--Red) ini (Madinah), dan Masjid al-Aqsha (Baitul Makdis).''

 

Dalam riwayat lain, Rasul bersabda, ''Shalat di Masjidku (Nabawi) ini lebih utama daripada shalat seribu kali di masjid lain, kecuali Masjid al-Haram.''

 

Shalat di Masjid al-Haram akan dilipatgandakan pahalanya hingga 100 ribu kali dibandingkan shalat di masjid lain. Hadis ini menunjukkan, keutamaan dan keistimewaan yang dimiliki oleh Madinah dan Masjid Nabawi.

 

Karena besarnya keutamaan Madinah dan Masjid Nabawi, sebagian besar umat Islam di seluruh penjuru dunia, senantiasa menyempatkan diri untuk berziarah ke Madinah, shalat di masjid Nabawi, dan mengunjungi makam Rasulullah SAW.

DOK REPUBLIKA

Tiga Metode Nabi di Madinah

Kedatangan Nabi Muhammad SAW pada 622 M di Madinah al-Munawwarah mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat setempat. Dengan sukacita, mereka menerima Rasulullah SAW sebagai pemimpin.

 

Sebelum hadirnya Nabi SAW, kota yang dahulu disebut sebagai Yastrib itu tidak ubahnya kebanyakan daerah di Jazirah Arab. Suku-suku di sana kerap berkonflik satu sama lain. Tidak ada sosok yang mampu mempersatukan masyarakat setempat yang beragam.

 

Kepemimpinan Rasul SAW mengubah Madinah menjadi kota yang berperadaban tinggi. Hal itu dijelaskan Zuhairi Misrawi dalam buku Madinah: Kota Suci, Piagam Madinah, dan Teladan Muhammad SAW. Menurut dia, sekurang-kurangnya ada tiga kebijakan mendasar yang dilakukan Nabi SAW sejak hijrahnya.

 

Pertama, membangun Masjid Nabawi sebagai pusat segala kegiatan yang berkaitan dengan keislaman dan kemasyarakatan.

 

Secara fisik, tempat ibadah itu terbilang sangat sederhana. Atap dan tiangnya terbuat dari pelepah daun dan batang pohon kurma. Lantainya dari kerikil dan pasir. Adapun dindingnya dari batu bata yang disusun dan dilekatkan dengan lumpur.

 

Bangunan yang tampak biasa-biasa saja itu menjadi penanda kebangkitan peradaban Islam. Sebab, Rasulullah SAW memfungsikan Masjid Nabawi untuk semua kegiatan umat Islam.

 

Di sanalah beliau mengajarkan Alquran, Sunnah, hikmah, dan nasihat-nasihat. Bahkan, diskusi dan menyusun strategi perang pun dilakukannya di Masjid Nabawi bersama para sahabat. Singkatnya, bangunan itu bukan hanya tempat ibadah ritual, melainkan juga pembinaan pelbagai aspek kehidupan Muslimin.

 

Kebijakan kedua adalah membangun dan menguatkan rasa persaudaraan Muslim (ukhuwah Islamiyah). Berbeda dengan fase Makkah, selama di Madinah gangguan dari kaum musyrikin lebih mereda. Dengan keadaan yang lebih tenang, umat Islam dapat lebih berfokus menyusun kekuatan sosial dan ekonomi mereka.

 

Selama di Madinah, Muslimin terdiri atas kaum Anshar dan Muhajirin. Yang pertama itu berarti 'para penolong', yakni orang-orang asli kota setempat. Secara asal nasab, mereka terdiri atas dua suku yang dominan: Aus dan Khazraj.

 

Sebelum menerima Islam, keduanya sering bermusuhan satu sama lain. Bahkan, permusuhan itu melibatkan persekutuan dengan kalangan Ahli Kitab, yakni Yahudi dan Nasrani. Barulah setelah menjadi Muslim, baik Aus maupun Khazraj berdamai dan sama sekali meninggalkan fanatisme kesukuan.

 

Rasulullah SAW mempersaudarakan antara Anshar dan Muhajirin. Beliau selalu menegaskan, setiap orang Islam adalah saudara. Mereka bagaikan satu tubuh. Apabila satu bagian merasa sakit, maka seluruh tubuh akan mengalami sakit yang sama.

Sungguh luar biasa cara Rasulullah SAW memperkuat solidaritas dan kohesivitas sosial antar sesama umat Islam di Madinah.

Ibnul Qayyim, sebagaimana dikutip oleh Mubarak Furi dalam Ar-Rahiq Al-Mahhtum menuturkan ikhtiar ukhuwah itu. Rasulullah SAW mempersaudarakan kaum Anshar dan kaum Muhajirin mula-mula di rumah Anas bin Malik. Saat itu, mereka berjumlah 90 orang lelaki.

 

Nabi SAW mempersaudarakan mereka agar saling membantu dan mewarisi setelah meninggal, di luar bagian warisan yang didasari hubungan darah. Kebijakan ini berlaku sampai masa Perang Badar tatkala Allah SWT menurunkan ayat ke-75 Surah al-Anfal:

 

وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنۢ بَعۡدُ وَهَاجَرُواْ وَجَٰهَدُواْ مَعَكُمۡ فَأُوْلَٰٓئِكَ مِنكُمۡۚ وَأُوْلُواْ ٱلۡأَرۡحَامِ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلَىٰ بِبَعۡضٖ فِي كِتَٰبِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمُۢ

 

“Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

 

Setelah dipersaudarakan dengan kaum Muhajirin, orang-orang Anshar rela berbagi apa saja. Sampai-sampai, mereka mengatakan kepada Nabi SAW, “Bagilah kebun kurma kami ini dengan saudara kami kaum Muhajirin.”

 

Namun, Nabi SAW menolaknya, “Tidak perlu. Cukuplah kalian memberi makanan pokok saja, lalu biarkan kami mengurus buahnya.”

 

Bahkan, ada pula yang rela berbagi istrinya. Ini seperti yang disampaikan Sa’ad bin Rabi’ kala dipersaudarakan dengan seorang Muhajirin, Abdurrahman bin Auf. Sa’ad berkata kepada Abdurrahman, “Sesungguhnya aku adalah kaum Anshar yang paling berpunya. Maka bagilah hartaku menjadi dua. Aku juga punya dua istri. Pilihlah mana di antara mereka yang kau sukai, lalu beritahukan kepadaku, aku akan menceraikannya. Jika masa iddahnya habis, engkau bisa menikahinya.”

 

Abdurrahman menolak tawaran itu dengan sopan. Ia hanya meminta untuk dipinjami modal dan ditunjukkan lokasi pasar di Madinah. Dengan demikian, sahabat Nabi SAW ini bisa berbisnis kembali sesudah meninggalkan semua harta bendanya di Makkah.

 

Sungguh luar biasa cara Rasulullah SAW memperkuat solidaritas dan kohesivitas sosial antar sesama umat Islam di Madinah. Mereka meninggalkan sama sekali watak Arab Jahiliah, yang mudah disulut egonya untuk bertikai dan berperang. Bagi Muslimin, persaudaraan bukan saja didasarkan pada darah, tapi juga keimanan yang sama.

 

Kebijakan ketiga yang diterapkan Rasulullah SAW ialah membangun persaudaraan dengan umat agama-agama lain di Madinah. Metode ukhuwah insaniyah itu dipilih beliau dengan dasar, Madinah adalah kota dengan penduduk yang plural.

 

Di sana, tidak hanya hidup kaum Muslimin. Ada pula kalangan non-Muslim, semisal umat Nasrani dan Yahudi. Tiap unsur menghendaki Madinah sebagai rumah yang nyaman untuk ditinggali dan mencari penghidupan.

 

Sebagai pemimpin, Rasulullah SAW bukanlah sosok yang egoistis atau mementingkan hanya urusan kaumnya. Beliau pun merangkul elemen-elemen non-Muslim di Madinah agar sama-sama berupaya menjaga situasi kondusif.

 

Pada akhirnya, Nabi SAW mencetuskan kesepakatan bersama yang berwujud dalam Piagam Madinah. Inilah titik temu (kalimatun sawa') bagi seluruh unsur-unsur penduduk Madinah yang beragam. Bahkan, para sejarawan kini mengakui, itulah bentuk konstitusi modern pertama dalam sejarah dunia.

DOK REUTERS

Piagam Madinah

Berikut ini adalah petikan lengkap terjemahan atas dokumen Piagam Madinah, yang terdiri atas 47 pasal.

 

Mukaddimah

 

Bismillahirrahmanirrahim. Ini adalah piagam dari Muhammad, Rasulullah SAW, di kalangan Mukminin dan Muslimin (yang berasal) dari Quraisy dan Yatsrib (Madinah), dan yang mengikuti mereka, menggabungkan diri dan berjuang bersama mereka.

 

Pasal 1: Sesungguhnya mereka satu umat, lain dari (komunitas) manusia lain.

 

Pasal 2: Kaum Muhajirin (pendatang) dari Quraisy sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka dan mereka membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.

 

Pasal 3: Banu 'Awf, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin.

 

Pasal 4: Banu Sa'idah, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin. Pasal 5: Banu al-Hars, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.

 

Pasal 6: Banu Jusyam, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.

 

Pasal 7: Banu al-Najjar, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.

 

Pasal 8: Banu 'Amr Ibn 'Awf, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.

 

Pasal 9: Banu al-Nabit, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.

 

Pasal 10: Banu al-'Aws, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.

 

Pasal 11: Sesungguhnya mukminin tidak boleh membiarkan orang yang berat menanggung utang di antara mereka, tetapi membantunya dengan baik dalam pembayaran tebusan atau diat.

 

Pasal 12: Seorang mukmin tidak dibolehkan membuat persekutuan dengan sekutu mukmin lainnya, tanpa persetujuan dari padanya.

 

Pasal 13: Orang-orang mukmin yang takwa harus menentang orang yang di antara mereka mencari atau menuntut sesuatu secara zalim, jahat, melakukan permusuhan atau kerusakan di kalangan mukminin. Kekuatan mereka bersatu dalam menentangnya, sekalipun ia anak dari salah seorang di antara mereka.

 

Pasal 14: Seorang mukmin tidak boleh membunuh orang beriman lainnya lantaran (membunuh) orang kafir. Tidak boleh pula orang mukmin membantu orang kafir untuk (membunuh) orang beriman.

 

Pasal 15: Jaminan Allah satu. Jaminan (perlindungan) diberikan oleh mereka yang dekat. Sesungguhnya mukminin itu saling membantu, tidak tergantung pada golongan lain.

 

Pasal 16: Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan, sepanjang (mukminin) tidak terzalimi dan ditentang (olehnya).

 

Pasal 17: Perdamaian mukminin adalah satu. Seorang mukmin tidak boleh membuat perdamaian tanpa ikut serta mukmin lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Allah Allah, kecuali atas dasar kesamaan dan keadilan di antara mereka.

 

Pasal 18: Setiap pasukan yang berperang bersama kita harus bahu-membahu satu sama lain.

 

Pasal 19: Orang-orang mukmin itu membalas pembunuh mukmin lainnya dalam peperangan di jalan Allah. Orang-orang beriman dan bertakwa berada pada petunjuk yang terbaik dan lurus.

 

Pasal 20: Orang musyrik (Yatsrib) dilarang melindungi harta dan jiwa orang (musyrik) Quraisy, dan tidak boleh bercampur tangan melawan orang beriman.

 

Pasal 21: Barang siapa yang membunuh orang beriman dan cukup bukti atas perbuatannya, harus dihukum bunuh, kecuali wali si terbunuh rela (menerima diat). Segenap orang beriman harus bersatu dalam menghukumnya.

 

Pasal 22: Tidak dibenarkan bagi orang mukmin yang mengakui piagam ini, percaya pada Allah dan Hari Akhir, untuk membantu pembunuh dan memberi tempat kediaman kepadanya. Siapa yang memberi bantuan atau menyediakan tempat tinggal bagi pelanggar itu, akan mendapat kutukan dan kemurkaan Allah di hari kiamat, dan tidak diterima daripadanya penyesalan dan tebusan.

DOK REUTERS

Pasal 23: Apabila kamu berselisih tentang sesuatu, penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah 'azza wa jalla dan (keputusan) Muhammad SAW.

 

Pasal 24: Kaum Yahudi memikul biaya bersama mukminin selama dalam peperangan.

 

Pasal 25: Kaum Yahudi dari Bani 'Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum Muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarganya.

 

Pasal 26: Kaum Yahudi Banu Najjar diperlakukan sama seperti Yahudi Banu 'Awf.

 

Pasal 27: Kaum Yahudi Banu Hars diperlakukan sama seperti Yahudi Banu 'Awf.

 

Pasal 28: Kaum Yahudi Banu Sa'idah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu 'Awf.

 

Pasal 29: Kaum Yahudi Banu Jusyam diperlakukan sama seperti Yahudi Banu 'Awf.

 

Pasal 30: Kaum Yahudi Banu al-'Aws diperlakukan sama seperti Yahudi Banu 'Awf.

 

Pasal 31: Kaum Yahudi Banu Sa'labah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu 'Awf, kecuali orang zalim atau khianat. Hukumannya hanya menimpa diri dan keluarganya.

 

Pasal 32: Suku Jafnah dari Sa'labah (diperlakukan) sama seperti mereka (Banu Sa'labah).

 

Pasal 33: Banu Syutaybah (diperlakukan) sama seperti Yahudi Banu 'Awf. Sesungguhnya kebaikan (kesetiaan) itu lain dari kejahatan (khianat).

 

Pasal 34: Sekutu-sekutu Sa'labah (diperlakukan) sama seperti mereka (Banu Sa'labah).

 

Pasal 35: Kerabat Yahudi (di luar kota Madinah) sama seperti mereka (Yahudi).

 

Pasal 36: Tidak seorang pun dibenarkan (untuk perang), kecuali seizin Muhammad SAW. Ia tidak boleh dihalangi (menuntut pembalasan) luka (yang dibuat orang lain). Siapa berbuat jahat (membunuh), maka balasan kejahatan itu akan menimpa diri dan keluarganya, kecuali ia teraniaya. Sesungguhnya Allah sangat membenarkan (ketentuan) ini.

 

Pasal 37: Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya, dan bagi kaum Muslimin ada kewajiban biaya. Mereka (Yahudi dan Muslimin) bantu-membantu dalam menghadapi musuh Piagam ini. Mereka saling memberi saran dan nasihat. Memenuhi janji lawan dari khianat. Seseorang tidak menanggung hukuman akibat (kesalahan) sekutunya. Pembelaan diberikan kepada pihak yang teraniaya.

 

Pasal 38: Kamu Yahudi memikul biaya bersama mukminin selama dalam peperangan.

 

Pasal 39: Sesungguhnya Yatsrib itu tanahnya "haram" (suci) bagi warga Piagam ini.

 

Pasal 40: Orang yang mendapat jaminan (diperlakukan) seperti diri penjamin, sepanjang tidak bertindak merugikan dan tidak khianat.

 

Pasal 41: Tidak boleh jaminan diberikan, kecuali seizin ahlinya.

 

Pasal 42: Bila terjadi suatu peristiwa atau perselisihan di antara pendukung Piagam ini, yang dikhawatirkan menimbulkan bahaya, diserahkan penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah 'azza wa jalla, dan (keputusan) Muhammad SAW. Sesungguhnya Allah paling memelihara dan memandang baik isi Piagam ini.

 

Pasal 43: Sungguh tidak ada perlindungan bagi Quraisy (Mekkah) dan juga bagi pendukung mereka.

 

Pasal 44: Mereka (pendukung Piagam) bahu-membahu dalam menghadapi penyerang kota Yatsrib.

 

Pasal 45: Apabila mereka (pendukung piagam) diajak berdamai dan mereka (pihak lawan) memenuhi perdamaian serta melaksanakan perdamaian itu, maka perdamaian itu harus dipatuhi. Jika mereka diajak berdamai seperti itu, kaum mukminin wajib memenuhi ajakan dan melaksanakan perdamaian itu, kecuali terhadap orang yang menyerang agama. Setiap orang wajib melaksanakan (kewajiban) masing-masing sesuai tugasnya.

 

Pasal 46: Kaum yahudi al-'Aws, sekutu dan diri mereka memiliki hak dan kewajiban seperti kelompok lain pendukung Piagam ini, dengan perlakuan yang baik dan penuh dari semua pendukung Piagam ini. Sesungguhnya kebaikan (kesetiaan) itu berbeda dari kejahatan (pengkhianatan). Setiap orang bertanggung jawab atas perbuatannya. Sesungguhnya Allah paling membenarkan dan memandang baik isi Piagam ini.

 

Pasal 47: Sesungguhnya piagam ini tidak membela orang zalim dan khianat. Orang yang keluar bepergian aman, dan orang berada di Madinah aman, kecuali orang yang zalim dan khianat. Allah adalah penjamin orang yang berbuat baik dan takwa. Dan Muhammad SAW adalah Utusan Allah.

top

Kota Nabi

Selayang Pandang